Rabu, 03 Oktober 2012

'cerpen pertamaku, tentang Nagan raya dan Manado' - Bagian Akhir

Pagi terakhir di tahun 2006 itu, aku mengantar Irene dan ayahnya ke Bandara Cut Nyak Dhien- Nagan Raya. Aku masih ingat dengan jelas kata-kata terakhir Irene sebelum naik tangga pesawat.

“Cut, terimakasih untuk persahabatan yang indah yang telah kau berikan untukku. Juga untuk kue karah. Jika Tuhan tidak mengizinkan kita untuk bertemu lagi, maka semua yang telah kau beri akan kubawa sampai mati.”

Aku hanya tersenyum. Aku  bahagia karena persahabatan kami ternyata sangat berarti baginya. Bagiku apalagi. Aku sangat yakin kami akan bertemu lagi.

Ketika pesawat Fokker itu telah lepas landas aku hanya bisa melambaikan tangan sekuat-kuatnya dengan rasa sedih yang masih membuncah, berharap Irene juga melakukan hal yang sama dari dalam pesawat. Semakin lama semakin kecil dan jauh tampak pesawat itu lalu menghilang di awan membawa sahabatku terbang. Ayah memelukku. Tangisku pun pecah untuk pertama kalinya.

Keesokan harinya, sejak pagi aku kembali sibuk membantu ibu dan nenek membuat karah. Hari itu aku libur sekolah karena tahun baru. Aku ingat Irene. Aku tau dia pasti senang bisa merayakan tahun baru bersama omanya di Surabaya. Dia sms melalui Hp ayahku, mengabarkan dia telah tiba di Surabaya kemarin siang dan akan terbang ke Manado hari ini. Dia juga  berjanji akan mengabariku lagi setibanya di Manado.

Jam 12. 35 WIB. Aku  kembali menerima SMS dari Irene yang mengabarkan bahwa sebentar lagi pesawatnya akan take off dan aku hanya mengucapkan selamat jalan.

 ”Aku naik Adam Air no penerbangan 574,” begitu akhir kalimat sms Irene. Aku tidak tau apa-apa tentang penerbangan. Aku belum pernah naik pesawat. Aku benar-benar tidak tahu.............



(12: 49 WIB, 1 Januari 2007. Pesawat Adam Air No penerbangan 574, lepas landas dari bandara Surabaya.

13: 29 WIB. “ Adam…., posisi di mana? Oh Tuhan, dia terbang ke utara!” kalimat itu meluncur dari pemandu menara pengawas Makassar. Dari radar di bandara Hasanuddin ia melihat pesawat Adam Air 574 jurusan Surabaya – Manado itu melenceng dari jalur semestinya. Pesawat itu malah berbelok menuju Majene...)



Nenek menyuruhku mengaduk adonan. Aku teringat Irene. Dia pasti sedang terbang di atas awan sekarang. 



(Pilot Refri Agustian Widodo dan kopilot Yoga sibuk memperbaiki alat, dan tidak sadar bahwa pesawat telah miring ke kanan lebih dari 35 derajat. Alarm di dalam kokpit berbunyi : bank angle, bank angle, bank angle…….. Itu menandakan kemiringan sudah melewati batas kenyamanan penumpang.



913: 58: 20 WIB

Pilot : “Jangan dibelokin! Ini heading (arah) kita.”

13:58:36

Kecepatan pesawat melewati Mach 0,82 (974 km/jam) – batas yang didesain untuk Boeing 747-400. Lima belas detik kemudian menjadi 1.105 km/jam. Suara udara kian bising. Pesawat miring ke kanan 100 derajat. Moncongnya menukik 60 derajat.)

      

Aku mulai menaruh adonan dalam tempurung untuk menggoreng karah. Minyak sudah panas. Aku berharap Irene nyaman dalam penerbangannya.



(13:59                                                                                

Kopilot  : “ Naik!   Naik!   Naik!   Naik!   Naik!   Naik! ”

13:59:05

Terdengar suara dentaman keras,

Dumm……,dumm…!

13:59:24

Kotak suara berhenti merekam di ketinggian 2.743 meter.)



Tuk... tuk... tuk...tuk...tuk.....aku mulai mengetuk-ngetuk gagang tempurung di atas minyak panas, ditemani boneka merah jambu pemberian Irene dalam pangkuanku. Terasa dia ada di sampingku. Adonan tepung mulai keluar, membenang masuk ke dalam minyak. Air mataku pun mulai keluar. Aku benar-benar teringat Irene. 

Tuk…tuk..tuk..tuk…tuk……..tanpa terasa tiga tahun sudah berlalu. Suara pembuatan karah tetap terdengar di rumah nenek. Namun sekarang sungguh berbeda. Karena di setiap alunan suara itu tetap ada suara tawa Irene yang khas, tawa seorang sahabat yang jasadnya terkubur di dasar laut Majene. Tetapi cinta dan persahabatannya terkubur dalam jiwaku untuk selamanya.





***cut aja mawaddah rahmah alydrus***       

        ***Jeuram, 18 Mei 2010***





Catatan: sumber detik-detik  tragedi Adam Air 574

              Majalah Tempo Edisi 31 Maret- 6 April 2008

3 komentar:

  1. cuakep banget deh blognya, mantaps. semangat ya dan terus menulis.

    BalasHapus
  2. xixixii...kok kamu koment sendiri ke tulisanmu sih bang mis ?
    ckckck...peternak blog nih, banyak banget blognya *_*

    BalasHapus
  3. hahahaha, ini blog aku buatkan untuk adikku yang di Aceh. adik apa adik ya. hehehe

    BalasHapus