Rabu, 03 Oktober 2012

Bahasa Aceh, Milik Siapa? - Bagian Akhir

Permasalahan mulai terlupakannya bahasa daerah kita, muncul dari beberapa faktor, seperti media massa, internet, atau berbagai jejaring sosial yang sudah begitu mudah di akses oleh putera-puteri daerah Aceh. Pergaulan mereka saat ini juga di dominasi oleh bahasa bahasa Indonesia dan bahkan beberapa diantaranya sudah mulai menggunakan bahasa asing (inggris, arab,dsb) dalam pergaulan sehari-hari. Hal tersebut mungkin lebih mengarah kepada prestise dalam pergaulan. Para remaja yang bisa menggunakan bahasa Indonesia pasaran atau bahasa gaul biasanya lebih merasa bangga, apalagi jika mereka sudah bisa bercakap dalam bahasa asing, tentu pujian dari teman dan kebanggaan akan semakin meninggikan prestise tersebut, dan membuat mereka lupa dengan bahasa daerah mereka. Memang tidak pernah salah, bahasa Indonesia dan bahasa asing juga sangat diperlukan dalam zaman globalisasi ini, apalagi jika tujuan berbahasa asing adalah untuk mengejar cita-cita hingga keluar negeri, namun kembali lagi ke permasalahan kemajuan Aceh kedepan bahasa Aceh  merupakan salah satu dari pendukung identitas rakyat Aceh.

          Faktor lain yang lebih besar pengaruhnya adalah faktor keluarga, khususnya orang tua. Begitu banyak kita dapati para orang tua di Aceh yang lebih memilih untuk berbicara dengan anaknya sejak kecil menggunakan bahasa Indonesia, dengan alasan agar si anak ketika dewasa kelak bisa berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebenarnya, seorang anak yang di ajarkan atau dibiasakan berbahasa Aceh sejak kecil, ia pasti akan bisa berbicara menggunakan bahasa Indonesia bahkan bahasa asing yang baik dan benar, hal itu akan ia peroleh dari tahapan-tahapan sosialiasi yang akan dilaluinya. Mulai dari tahapan persiapan,meniru,mulai bertindak, sampai tahapan penerimaan norma kolektif. Di sekolah pun dia akan di ajarkan tentang bahasa Indonesia yang sebenarnya. Tetapi sebaliknya, jika seorang anak sejak kecil sudah di biasakan oleh orang tuanya untuk tidak berbahasa Aceh, belum tentu dia bisa menguasai bahasa Aceh yang baik dan benar nantinya karena bahasa Aceh hanya ia dapatkan di tanah Rencong, apalagi jika saat remaja si anak sudah melanjutkan pendidikan di luar daerah, ia sudah kehilangan satu warisan palingberharga sebagai rakyat di provinsi paling barat Indonesia, yaitu bahasa Aceh. Percaya atau tidak tapi inilah kenyataannya sasat ini.

          Ironisnya sudah banyak kita temui saat ini anak-anak yang berdarah Aceh orang tua dan keluarganya asli Aceh namun susah mencerna percakapan-percakapan dalam bahasa Aceh. Aneh, mungkin  kata itu yang paling tepat untuk mengungkapkan respon terhadap fakta bahwa masyarakat asli tanah Serambi Mekkah dan berdomisili di Aceh, malah tidak bisa bahasa Aceh. Mungkin tidak terlalu berlebihan jika kita membuat sebuah perbandingan kondisi bahasa daerah kita saat ini dengan kaum ‘tionghoa’ yang ada di Indonesia dan khususnya Aceh. Kaum tionghoa yang berdomisili di Aceh saat ini adalah mereka yang sudah begitu lama tidak pernah menginjakkan kaki di tempat asal mereka, daratan Cina. Bahkan sudah jauh beberapa keturunan di atas mereka yang dari dahulu menetap di Aceh namun rata-rata mereka selalu menggunakan bahasa Mandarin dalam lingkungan keluarga dan dengan rasa bangga mereka tetap menjaga bahasa aslinya meskipun terkadang tanah kelahiran mereka bukan di daratan Cina. Tetapi disisi lain mereka juga bisa menguasai dengan baik bahasa Indonesia atau bahasa lain yang digunakan di tempat mereka menatap. Berbanding terbalik dengan masyarakat kita bukan?     

          Pada hakikatnya, solusi paling tepat untuk ancaman pudarnya bahasa Aceh adalah kesadaran pribadi kita masing-masing. Kesadaran yang kuat dan dilandasi rasa bangga oleh kaula muda untuk tetap menggunakan bahasa Aceh dalam pergaulan atau interaksi sosial lainnya. Bagi para orang tua juga perlu sebuah kesadaran terhadap pemikiran yang keliru tentang sebuah anggapan bahwa jika mengajarkan anak dengan bahasa Aceh adalah hal yang tidak penting, karena bahasa Aceh sudah jarang dipakai,kuno,atau alasan globalisasi lainnya.

          Pemerintah dan Lembaga kebahasaan di Aceh juga bisa membantu mengatasi masalah ini dengan mengadakan berbagai perlombaan, membuat poster dan pengumuman dan menempatkan di tempat umum. Semua dikemas dalam bahasa Aceh. Jurus lain yang tak kalah jitu adalah memasukkan program Bahasa Aceh dalam kurikulum dan menjadi pelajaran wajib bagi semua pelajar mulai tingkat sekolah dasar  sampai perguruan tinggi. Jika semua usaha telah di tempuh Insya Allah bahasa Aceh tak akan pernah pudar pesonanya dan Aceh akan semakin maju tanpa kehilangan identintasnya. Semoga.





Jeuram, 7 Februari 2012

Cut Aja Mawaddah Rahmah Al-aydrus.



Note : Penulis mengharapkan kritik dan saran agar tulisan ini menjadi lebih baik, seperti tentang tanda baca, penggunaan kalimat, atau hal lain yang dianggap penting dengan tidak mengabaikan tujuan penulis yaitu untuk mengurai sedikit banyak tentang pengaruh bahasa dalam pembangunan daerah Aceh, bukan untuk membandingkan suatu bahasa dengan bahasa yang lain. Karena penulis menganggap semua bahasa penting jika kita memaknai dalam konteks yang sebenarnya. Trimakasih :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar