Rabu, 03 Oktober 2012

'cerpen pertamaku, tentang Nagan raya dan Manado'

KARAH

elegi buat Irene


            Tuk…tuk…tuk…tuk....... Suara ketukan lembut berirama yang sambung menyambung dari dapur rumahku membuat dadaku terasa sesak. Padahal suara ketukan kayu kecil pada gagang tempurung para pembuat kue karah itu sudah dari aku kecil selalu aku dengar. Nenek dan ibuku adalah perajin karah. Aku juga sudah membantu mereka sejak aku kecil. Tapi sekarang ketukan itu menjadi nada sendu.  Setiap aku mendengarnya, aku selalu ingat  Irene.

Aku kenal Irene memang karena karah juga. Ayahnya bekerja di sebuah NGO yang membantu daerah kami yang porak poranda akibat musibah tsunami. Sementara ayahku bekerja sebagai supir pribadi Pak Daniel, ayah Irene.

Ketika Pak Daniel pulang mengunjungi keluarganya di Manado, ibu memberinya karah sebagai oleh-oleh. Karena cuma itu yang ada di rumah kami. Ternyata Irene suka karah. Saat Pak Daniel datang ke rumahku, ia menelpon Irene di depanku. Lalu sambil tersenyum ia berikan Hpnya padaku.

”Nih, ada yang mau ngomong sama kamu,” kata Pak Daniel kepadaku.

Aku kaget., dengan malu-malu aku terima Hpnya.

”Hallo, aku Irene. Kamu Cut kan?” aku tambah terkaget-kaget. Irene terus nyerocos, bilang terima kasih untuk kuenya dan mengajak aku ngobrol lama. Seakan kami sudah lama kenal. Dari sinilah aku dan Irene memulai persahabatan sejati kami.

Sejak itu Irene sering menelpon atau sms melalui Hp ayahku. Sama-sama masih kelas 1 SMP dan sama-sama anggota PMR membuat kami makin akrab. ”Tapi sebenarnya kue karahlah yang membuat aku makin sayang kamu,” tulis Irene dalam sms di Hp ayah. ”Aku mau berkunjung ke tempat kamu. Boleh, kan?”

Hah, ... Irene mau datang ke kampungku? Rasanya seperti mimpi. Aku tak sabar menunggu tanggal kedatangan Irene. Aku juga sudah berjanji pada Irene kalau aku akan memenuhi janjiku untuk menemaninya belajar membuat karah pada nenek. “Aku sangat ingin tau lebih jauh tentang kue karah yang kamu kirimkan untukku lewat ayah beberapa waktu lalu, Cut. Bentuk runcing segitiganya sangat unik,” sms Irene waktu itu.

          Penghujung  tahun 2006 Irene pun ikut ayahnya ke kampungku. Pagi yang cerah itu aku dan ayah  menjemput Irene dan ayahnya di Bandara Cut Nyak Dhien. Mobil double cabin itupun akhirnya berhenti tepat di halaman parkir bandara.  Aku sudah tak sabar ingin bertemu Irene. Kupercepat langkah-langkah kecilku.  Sambil menarik lengan ayah, aku terus berjalan ke arah seorang gadis cantik yang berdiri di samping Pak Daniel.



 “Irene …??” sapaku dengan gugup.

“Ya. Aku Irene, dan kamu…., kamu pasti Cut Putroe kan..?”

          Akupun mengangguk dan aku masih terpaku memandangi wajahnya yang sangat cantik. Kulitnya putih bersih. Matanya bersinar. Irene benar-benar  mirip dengan orang-orang kaya yang kulihat di TV. Setelah itu kami saling berpelukan, seakan mengisyaratkan bahwa ia sangat ingin berjumpa denganku. Begitu juga aku.

“Cut, di sini sama seperti di Manado,” kata Irene.

“Manado juga ada pantainya, Ren ?”

“O iya, Cut. Manado kota pantai tapi ada juga  bukitnya.  Pantainya indah sekali Cut, pasirnya berwarna putih. Beberapa menit naik speed boat, kita sampai di pulau Bunaken. Di laut kita juga bisa menyelam, soalnya airnya dangkal. Kita bisa lihat ikan-ikan dan terumbu karangnya,” Irene promosi kotanya.

“Wahhh, seperti di TV ya, Ren ?”

“Seperti itulah, Cut. Nanti kapan-kapan kamu ke Manado, aku traktir makan di  Boulevart, indah banget, Cut !.”

“Aduh, andai saja aku bisa ke Manado…” kataku lirih.

“Suatu saat kamu pasti bisa ke Manado, percaya deh sama aku,” Irene menghiburku.

“Manado itu penghasil kopra terbesar di Indonesia ya,?” tanyaku. Aku baca begitu di buku pelajaran SD.

“ Benar Cut, penghasil cengkeh juga, lho,” jelasnya lagi.

“ Wah, hebat ya. Udah daerahnya bagus, hasil alamnya juga banyak. Ren, kue karah perlu kelapa lho, karena minyaknya dipakai untuk menggoreng dan batoknya jadi tempat cetakan,” aku mulai menjelaskan tentang karah.

“Oh ya, Cut? Aku baru tau nih. Wah, kalau gitu kita bisa bikin bisnis kue karah dong.... Aku pemasok salah satu bahan bakunya dan kamu yang produksi kue di sini, lalu kita pasarkan deh, baik di Aceh maupun di Manado. Gimana ?”

“ Ide yang bagus sih, tapi kapan terwujudnya ? SMP saja kita belum tamat.”

“Ya maksudku juga kapan-kapan sih…”

“ Ha…ha..ha…”

Lalu kami pun tertawa bersama bagaikan sebuah paduan suara.

Kami menyambut malam bersama di kamarku yang sangat sederhana setelah  makan malam di atas selembar tikar, dengan menu ikan limbek dan daun pakis yang ditumis oleh ibuku diterangi cahaya lilin karena malam itu listrik padam di desaku karena pemadaman bergilir. Irene si gadis cantik itu pun terlelap dengan boneka merah jambunya yang terus didekap.

Ah, Irene gadis Manado yang sudah tertidur pulas di malam pertamanya kampungku, pantai barat Aceh, tempat yang amat jauh dari kampung halamannya. Ia datang hanya demi sebuah persahabatan dan sebuah keingintahuan tentang kue khas kami, karah. Begitu unik dan berartikah kue karah itu bagi Irene? Seorang gadis yang padahal tidak sedikitpun punya darah Aceh. Padahal kue tradisional ini  sudah lama hanya menjadi simbol adat dan terlupakan oleh generasi muda kami. Mungkin juga akan terhapus begitu saja oleh waktu, hanya karena penerus daerah ini sudah sangat mengandrungi kue-kue asal luar negeri.

Keesokan harinya, aku dan Irene memulai semua petualangan kami tentang kue karah. Beruntung cuaca pagi ini sangat cerah.

“Ren, hari ini kebetulan nenek mau membuat kue karah ukuran besar, untuk acara adat .”

“Yang benar, Cut?”

“Benaran, Ren, diameternya ada yang sampai 25 cm, sebutannya karah tapak gajah.”  Aku segera menarik lengan Irene menuju rumah nenek yang tidak jauh dari rumahku.

“Wah… besar sekali, gimana cara bikinnya ini?” Irene penasaran begitu melihat beberapa karah besar yang sudah dibuat nenek. ”Seperti untaian benang ya..., rapi banget. Rajutnya pakai jarum ya...terus kalau karahnya sebesar ini, gimana dengan cetakannya ya...sebesar apa?”

Aku tertawa lepas mendengar pertanyaan-pertanyaan Irene. Dia berbicara begitu cepat dan panjang seakan tak ada waktu lagi untuk dia bertanya setelah ini.

“Sahabatku yang cantik, semua pertanyaan itu akan segera terjawab setelah

kamu melihat sendiri proses pembuatannya. Ren, coba kamu lihat tepung itu!”

“Yang sedang dijemur itu, Cut?”

“Ya, itu adalah tepung yang akan dibuat menjadi karah nanti. Nah, kamu sekarang pasti ingin bertanya, kenapa tepung itu mesti dijemur dulu sampai kering, iyakan?”

Irene mengangguk. Akupun coba menjelaskan sebisaku.

“Ren, tepung yang dipakai untuk proses pembuatan karah itu nggak sembarangan lho. Bahkan, tepung itu lebih baik tidak dibeli di pasar atau ditoko, tapi ditumbuk sendiri karena kata nenek ada jenis beras tertentu yang bisa menghasilkan kue karah yang bagus. Nah, kamu lihat deh, ini adonan karah yang sudah jadi. Ini yang kemudian akan dibuat menjadi karah,” Irene manggut-manggut mendengar penjelasanku.

“Bagaimana dengan apinya, Cut ?” tanya Irene

“Apinya juga harus sesuai, kalau terlalu besar bisa hangus. Kalau terlalu kecil pun bisa tidak jadi. Nah, yang ini cetakannya terbuat dari tempurung kelapa, gagangnya dari kayu atau bambu supaya tidak panas dipegang,” jelasku lagi sambil memperlihatkan bagian bawah tempurung yang diberi lubang-lubang kecil yang bersusun rapi melingkar supaya adonan tepung bisa keluar.

Tuk…tuk..tuk……….. Suara gagang tempurung yang diketuk lembut dan berirama oleh orang-orang yang sedang membuat karah di rumah nenek terus terdengar. Irene hanya terpaku. Matanya hampir tidak berkedip melihat proses pembuatan karah. Sementara aku hanya tersenyum melihat tingkah Irene yang begitu menggemaskan.

“Wah, Cut, ternyata bukan hanya suara ketukan yang khas, tapi juga tangan pembuatnya yang harus

terus bergerak memutar cetakan.  Tadinya aku pikir karah itu diproses dengan menggunakan cetakan modern. Tapi ternyata tidak. Malahan pembuatannya seperti pertunjukan seni saja. Hehehe,  lucu dan unik,” begitu komentar Irene.

“Nah, sekarang kamu sudah tau kan, kalau pembuatan karah itu tidak dimasak dalam cetak tapi dimasak sambil dikeluarkan sedikit demi sedikit dari cetakannya. Jadi, meskipun karahnya sebesar telapak gajah, no problem yang penting  wadah tempat penggorengannya muat,” aku makin semangat menjelaskan.

Aku dan Irene saling berpandangan, lalu kami tak bisa menahan diri untuk tertawa sebesar-besarnya. Entah apa yang membuat kami tertawa, kami pun tidak tau.

“Nah, sekarang waktunya aku dan kamu membuat karah kita masing-masing, gimana?” aku mengajak

Irene memulai sesuatu yang sudah lama ia tunggu-tunggu.

“Oh right….Ide yang bagus,” Irene tampak antusias.

“Nih.. kamu ambil alatnya dulu, lalu kamu pukulkan pelan-pelan ke dalam wadah di depannya, ya” aku menyodorkan semua bahan-bahan yang telah disiapkan ibu.

“Tempat ini disangkut ke kawatnya dulu, ya ?” tanya Irene

“Yap.. hati-hati, Irene.”

“Aku mulai bikin ya, Cut……”

“Tuk…tuk…tuk….”

“Ha..ha..ha…”

Kami tertawa bersama.

“Hati-hati hangus, Ren,”

“Eh, iya-iya…..duh, deg-degan,” jawabnya. Akhirnya karah buatan Irene pun selesai. Tapi bentuk nya sungguh tak karuan.

“Ini mah bukan bentuk segitiga, tapi bentuk segi tak beraturan dan tidak ada dalam kamus matematika,” kataku melihat hasil buatan Irene. Tapi sungguh itulah proses pembuatan karah yang terindah dalam hidupku. Mungkin juga bagi Irene.

“Cut, aku punya ide. Gimana kalau suara tuk..tuk..tuk… pembuatan karah itu

kita jadikan musik. Sambil membuat karah kita bisa bikin musik atau nyanyian,” Irene menawarkan idenya. Boleh juga tuh.

“Setuju…..!!” aku langsung sepakat. ”Tapi kalau nyanyiannya lagu patah hati, ketukannya lambat dong, jadi...........”

“Jadi karahnya hangus karena saking lambat dan sedihnya…!!” Irene langsung menyambung perkataanku.

Kami kembali tertawa untuk kesekian kalinya sampai membuat nenek membelalakkan matanya.

Tak terasa 2 hari berlalu begitu cepat. Dan ketika Irene harus kembali ke Manado, aku begitu sedih harus berpisah.

“Cut, boneka ini untukmu!” Irene memberikan boneka merah jambunya itu padaku.

Pada awalnya aku menolak, karena aku tau itu adalah boneka kesayangannya. Tapi Irene terus memaksa sampai aku harus menerima boneka itu. Jujur, aku sangat senang menerima hadiah boneka itu dari Irene karena selama hidupku aku belum pernah punya boneka sebagus ini.

“Cut, makasih banyak ya. Kue karah yang kita buat bersama ini akan aku bawa pulang dan aku tunjukkan pada teman-temanku di Manado. Walaupun bentuknya tak karuan tapi yang terpenting adalah aku sudah tau bagaimana proses pembuatan karah.  Aku tidak langsung ke Manado, singgah ke Surabaya dulu ke tempat Oma, malam tahun baru kumpul di rumah oma,” kata Irene


Bersambung...........................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar