Rabu, 03 Oktober 2012

Bahasa Aceh, Milik Siapa?

Apa yang terlintas di pikiran kita saat seseorang menyinggung tentang bahasa daerah atau bahasa Aceh khusunya? Apakah saat itu juga otak kita mulai bekerja dan menganalisis bagaimana nasib bahasa aceh di zaman globalisasi ini? Nasib sebuah bahasa daerah saat pemiliknya sudah kurang bangga menggunakannya.

Berbicara tentang bahasa yang belakangan ini mulai terabaikan bahkan hampir tak tersentuh oleh pemikiran-pemikiran para penerus generasi muda khususnya generasi muda di tanah Rencong adalah bahasa daerah. Bahasa daerah adalah bahasa yang paling dominan digunakan dalam komunikasi antar masyarakat di suatu daerah. Penulis mengangkat topik tentang Bahasa Aceh karena Penulis adalah seorang puteri daerah Aceh lahir dari ayah dan ibu yang juga putera dan puteri asli tanah Serambi Mekkah. Menurut pandangan penulis, bahasa adalah elemen yang sangat penting dalam suatu komponen masyarakat, karena setiap bahasa yang dipakai oleh warga masyarakat adalah ‘identitas’ diri yang menunjukkan kepribadian mereka.

Sejenak mari kita fikirkan tentang akar-akar kata dari bahasa Aceh, hampir semua kata dalam bahasa Aceh di dahului oleh kata kiasan atau perumpamaan sebelum maksud utamanya disampaikan, dengan tujuan hal yang disampaikan bisa diterima sebaik mungkin oleh pendengar tanpa harus ada salah paham sedikitpun. Seperti “uloen tuan lake meu’ah bak syedara ban mandum..”. Kata “uloen tuan” pada kalimat itu tidak  sekedar berartikan ‘saya’ tapi lebih dari itu, kata “uloen tuan”  tergolong dalam kata yang sangat sopan untuk mengawali maksud permintaan maaf. Contoh lain misalnya, kata “droe neuh” atau “gata” dalam beberapa kalimat tidak sekedar bebarti sebagai “kamu”, tetapi kata ini lebih tepat jika diartikan sebagai “anda” atau “dirimu”. Atau kalimat yang sering digunakan masyarakat Aceh sambil menunduk dan merendahkan badan saat lewat  di hadapan sebuah majelis “meu’ah beuh, loen jak bacut” yang berarti “maaf  (permisi) saya mau lewat”. Ternyata, betapa mulia dan berbudi luhurnya tutur kata dalam bahasa Aceh, dan betapa terhormatnya identitas yang tercermin dari bahasa tersebut. Lalu bagaimana jika kenyataannya saat ini identitas itu mulai terabaikan, bukankah “Bahasa itu menunjukkan Bangsa?”

          Ini bisa dikatakan sebuah permasalahan yang seharusnya cukup menarik perhatian kita. Bagaimana tidak, hampir setiap saat kita selalu mencari solusi untuk kesejahteraan dan kemajuan rakyat Aceh di masa yang akan datang, namun kita malah lupa pada masalah ‘identitas’ yang seharusnya kita utamakan. Bagaimana kita hendak  maju jika kita tidak punya identitas lagi sebagai sebuah kelompok masyarakat yang notabene kita masyarakat Aceh sudah tersohor sejak dulu keberbagai penjuru dunia dengan kesopanan dan keramahtamahan dalam tutur bahasa kita. Akankah semua itu hilang di telan waktu dan terlindas oleh perubahan zaman?.


Bersambung............................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar